PUAN Amal Hayati SAQO Al-Jailani

Pondok Pesantren K.H. Aminuddin.
Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia.

Wednesday, November 01, 2006

Pesantren Untuk Rehabilitasi Korban Anak KDRT

Sebagian pesantren berperan menanggulangi korban anak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dan, pesantren adalah lembaga yang bergerak di wilayah pendidikan dan sosial. Uniknya, pesantren tidak pernah menolak santri yang datang untuk menimba ilmu. Anak-anak “mondok” dari berbagai kelas sosial tinggal di pesantren. Anak diterima oleh pengasuh dengan tangan terbuka. Bisakah pesantren terus menjadi 'shelter'?


***

Pesantren Untuk Rehabilitasi Korban Anak KDRT

Oleh : Najlah Naqiyah

Penulis adalah Ketua PUAN Amal Hayati Syaqo Al-Jailani, Kraksaan, Probolinggo, dan Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.



Sebagian pesantren berperan menanggulangi korban anak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dan, pesantren adalah lembaga yang bergerak di wilayah pendidikan dan sosial. Uniknya, pesantren tidak pernah menolak santri yang datang untuk menimba ilmu. Anak-anak “mondok” dari berbagai kelas sosial tinggal di pesantren. Anak diterima oleh pengasuh dengan tangan terbuka. Anak diasuh dengan segala riwayat kehidupan keseharian anak yang penuh warna. Anak-anak santri terdiri dari anak-anak keluarga sejahtera dan prasejahtera, anak-anak yang dibesarkan dengan kasih sayang dan terlantar, nakal, minum-minuman keras, pengedar dan pemakai obat-obat terlarang. Sebagian anak-anak ada yang mengalami tindak kekerasan KDRT, mendapatkan kekerasan secara verbal, psikis, dan pelecehan seksual. Mereka dibesarkan dengan penuh caci maki, amarah dan pemukulan dari orang-orang dekat mereka. Semua anak-anak tersebut ditampung dan dibina oleh pesantren. Dalam membina anak-anak korban KDRT, namun, pesantren telah membina anak-anak dengan cara yang baik dan ada pula yang buruk.

Di pesantren anak-anak mudah digerakkan oleh para guru, baik kearah positif maupun negatif. Secara positif, anak-anak diajak mengikuti kegiatan yang mengasah potensi. Sedangkan yang mengarah ke negatif adalah mengeksploitasi anak-anak. Apakah ada pesantren yang mengeksplotasi anak-anak? Ada. Bila ditelusuri di jalanan, masih ada sebagian pesantren yang memperkerjakan anak-anak mencari dana untuk pesantren. Anak di suruh meminta-minta di pinggir jalan, bis-bis kota dan kapal serta tempat-tempat umum. Menggunakan jasa anak menopang kehidupan pesantren dengan memperkerjakan anak-anak dibawah umur adalah langkah naïf bagi pesantren. Alih-alih, pesantren sebagai tempat rehabilitasi untuk anak terlantar, justru yang terjadi adalah eksploitasi anak secara terselubung. Atas nama agama menjual anak-anak ke masyarakat untuk menggalang dana. Tentu langkah ini menjadi keprihatinan bersama.

Tindak kekerasan terhadap anak mengakibatkan penderitaan secara fisik dan psikologis. Tindak kekerasan berupa verbal dan non verbal. Kekerasan menimpa anak-anak merupakan perbuatan tidak terpuji, namun mengapa kekerasan menimpa anak-anak kerapkali terjadi? Kekerasan menimpa anak-anak disebabkan oleh ancaman, paksaan yang merampas hak-hak anak. Hak-hak anak untuk dilindungi oleh orang tua, hak memperoleh makan dan minum dan hak akses kesehatan secara layak. Anak-anak berhak untuk menolak apabila disuruh berbuat makar. Anak-anak berhak mendapat kehidupan yang terpelihara secara sehat. Namun, ironinya, banyak anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tua, dan wali dengan berbagai alasan, misalnya, alasan kemiskinan dan keterbatasan.

Kondisi lemah dan tidak berdaya rentan mendapatkan kekerasan dari orang-orang dekatnya. Dengan dalih melindungi, mereka cenderung membatasi dan memproteksi. Anak yang masih lemah secara fisik, akan cenderung mudah diatur dan ditakut-takuti. Di lain pihak, anak-anak terlahir dan berkembang secara bertahap. Mulai fase pertumbuhan id (kepuasan dan kesenangan).
Sifat anak yang masih mendahulukan kesenangan (kepuasan id dari pada ego dan super ego), dibatasi dengan mengembangkan rasa takut dan menutup diri. Rasa takut itu muncul menjadikan anak sangat pendiam dan menolak untuk mencoba hal-hal baru. Ketakutan telah menyelimuti jiwa anak-anak. Anak-anak tumbuh menjadi anak yang rendah diri, kurang percaya diri dan hidup penuh kesakitan dan penolakan dari dirinya sendiri.

Maraknya kekerasan anak KDRT semestinya menggugah pesantren untuk berperan. Kekerasan yang dialami anak-anak berupa pemukulan, pembunuhan karakter anak-anak, pemerkosaan dan pelecehan seksual oleh orang-orang dekat, menuntut pesantren mampu merehabilitasi anak-anak korban KDRT. Anak-anak korban KDRT memperoleh perlindungan oleh pengasuh pesantren dari kekerasan yang menimpa. Perlindungan yang diberikan oleh pesantren berupa yayasan yatim piatu dan fakir miskin. Pesantren memberikan kehidupan baru bagi anak-anak agar bebas dari ancaman, pemukulan dan pelecehan. Pesantren harus mengupayakan rasa aman.

Bagaimana selayaknya pesantren merebilitasi anak korban KDRT? Ada empat strategi mengasuh anak-anak korban kekerasan KDRT di pesantren, yaitu ;
Pertama, selayaknya, pesantren memberikan model hidup yang mengarahkan anak ke peningkatan pertumbuhan yang lebih baik. Anak laksana kuncup bunga yang mekar merekah. Di Pesantren, figur orang tua digantikan oleh para guru dan pengasuh. Peran pengasuh sebagai pengganti orang tua menjadi penting sebagai model peran anak-anak. Anak-anak belajar hidup keseharian dengan mencontoh kehidupan sang guru. Apabila guru di pesantren memperlakukan anak-anak dengan kasih sayang dan penuh perhatian, maka anak-anak akan belajar mencintai dirinya sendiri dan orang lain. Sebaliknya, jika anak-anak dibiarkan oleh guru, anak-anak akan mengembangkan cara hidup yang acuh tak acuh. Seringkali, kondisi pesantren yang terdiri dari ribuan santri, menjadikan anak-anak tidak mendapatkan perhatian secara penuh dari para guru.

Kedua, Anak-anak membutuhkan rasa aman dan perlindungan dari komunitas pesantren
Pesantren tempat menggembleng anak-anak secara fisik dan mental. Pesantren selayaknya menjadi tempat yang menyediakan kebutuhan materi dan mental-spiritual. Kebutuhan materi berupa kebutuhan harta benda, finansial, makan-minum. Kebutuhan mental-spiritual berupa pendidikan, spiritualitas dan rasa aman. Pesantren selayaknya memberikan fasilitas yang kaya untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Ide-ide kreativitas menambah keunikan pesantren mengelola kehidupan anak-anak korban KDRT.

Ketiga, Anak-anak korban KDRT membutuhkan interaksi dengan teman-teman sebaya dan orang dewasa di pesantren. Anak-anak bercampur baur dan bergaul dengan anak-anak yang lebih tua umurnya. Bagaimana mengelola pergaulan yang sehat di pesantren yang berasal dari berbagai latar sosial? Model pergaulan pluralistik menjadi alternatif untuk diterapkan di pesantren. anak-anak dilatih mengelola konflik. Latihan ini dengan cara pembauran dari berbagai etnik, dari desa dan kota dengan pola asuh orang tua yang berbeda pula. Anak-anak diajarkan untuk memahami satu sama lain dengan cara berinteraksi selama tinggal di pemondokan. Anak-anak tidur, makan dan belajar bersama dalam keseharian. Anak-anak korban KDRT biasanya lebih rentan emosinya dibandingkan dengan anak-anak yang biasa. Untuk itu, membutuhkan rasa penerimaan diri untuk berinteraksi dengan teman-teman sebaya mereka. Seperti seorang anak yang telah diperkosa, kemudian tinggal di pesantren, akan mengalami trauma masa lalu yang tidak mudah dilupakan. Ada krisis pribadi yang menghalangi anak tersebut untuk bergaul dengan teman sebaya. Anak-anak korban KDRT membutuhkan dorongan teman-teman sebaya untuk kuat menghadapi situasi yang telah menimpa diri anak agar diterima di lingkungan pesantren.

Keempat, Menggerakkan anak-anak korban KDRT dengan kegiatan positif. Kegiatan positif dapat menyibukkan anak untuk mengasah potensi diri. Dengan kesibukan tersebut, anak-anak menjadi tidak terbebani oleh masa lalu anak korban KDRT. Kegiatan positif misalnya, pelatihan bahasa Inggris-Arab, pengajian keagamaan, membuat keterampilan tangan, olahraga dsb. Pertumbuhan anak-anak secara positif, adalah munculnya beragam kreativitas yang senantiasa dilatih sebagai kebiasaan sehari-hari. Anak-anak senantiasa mencoba hal-hal baru dan berlatih dengan kebiasaan yang dipelajari dari para guru.

Pesantren sebagai tumpuan terakhir anak bangsa Keempat strategi diatas niscaya dilakukan oleh pesantren untuk tumbuh kembang ke arah yang lebih baik. Sebab, di pundak anak-anak, kemajuan bangsa dipertaruhkan di masa depan. Menggembleng anak-anak korban KDRT membutuhkan komitmen tinggi untuk tulus-ikhlas mendidik mereka.
Selengkapnya...