PUAN Amal Hayati SAQO Al-Jailani

Pondok Pesantren K.H. Aminuddin.
Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia.

Monday, September 12, 2005

Rumah Kian Kelam

Sore temaram, seorang ibu setengah baya menerawang menatap langit. Wajahnya diterpa sinar kekuning-kuningan. Senyumnya kecut, sekering hatinya. Perlahan ia berkemas meninggalkan sawah, menuju gubuknya. Menjumpai kedua anak-anaknya yang masih kecil. Keringat tubuhnya mengalir deras. Ia berjalan menyusuri padang ilalang. Pikirannya melayang jauh, mengingat suaminya yang kini meninggalkan diri dan anak-anaknya. Kenapa si suami tega meninggalkan keluarganya?

***


Rumah Kian Kelam

Oleh Najlah Naqiyah

(Disarikan dari pengaduan masyarakat kepada Puan)


Sore temaram, seorang ibu setengah baya menerawang menatap langit. Wajahnya diterpa sinar kekuning-kuningan. Senyumnya kecut, sekering hatinya. Perlahan ia berkemas meninggalkan sawah, menuju gubuknya. Menjumpai kedua anak-anaknya yang masih kecil. Keringat tubuhnya mengalir deras. Ia berjalan menyusuri padang ilalang. Pikirannya melayang jauh, mengingat suaminya yang kini meninggalkan diri dan anak-anaknya. Suaminya bekerja sebagai petugas keamanan desa, yang sering keluar malam. Suatu hari ia mendapatkan berita dari tetangga, kalau suaminya menikah dengan perempuan lain. Sejak itulah, prahara rumah tangganya menguak.

Sementara ibu ini bekerja menjadi buruh tani, mengerjakan sawah milik orang. Terkadang jika sawahnya tidak menghasilkan, ia harus rela dipecat oleh pemilik sawah. Kalau sudah dipecat, si ibu bekerja mengambil cucian tetangga serta membantu didapur orang-orang kaya. Wajah ibu itu terlihat kusam. Tubuhnya kurus dan kelihatan tua. Pikirannya penuh dengan masa depan kedua anaknya yang tidak jelas. Ia sendiri tidak punya biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sementara ini anaknya tidak sekolah, hanya bermain dengan anak-anak tetangga. Terkadang, terlintas untuk membujuk suaminya agar sadar akan tanggung jawabnya. Suaminya berkenan mengasuh anak-anaknya dan memperbaiki rumah tangganya yang retak. Tetapi setiap kali usaha itu dilakukan, ia selalu mengalami kegagalan. Sudah berbagai cara dicobanya untuk mendekati suaminya, tetapi tetap saja, suami itu tidak perduli, suaminya seakan menutup mata hatinya untuk sekedar menatap dan melihat keadaan kedua anaknya.


Ibu setengah baya itu terus memaksakan diri untuk bertahan hidup. Setiap pagi buta ke sawah, menitipkan kedua anak-anaknya pada tetangga. Sore hari, ia baru pulang dan mendekap kedua anak-anaknya. Hidup sendirian mengasuh dua anak memang tidak mudah. Apalagi dengan keterbatasan diri sebagai seorang buruh tani. Kalau lagi masa tanam, ia mendapatkan upah Rp. 5000,00 (lima ribu rupiah) sehari. Tapi kalau tidak ada yang mengajak ke sawah, ia mengambil cucian dari tetangga yang hasilnya tidak mesti. Yang pasti adalah, ia dapat makan dan membawa sebungkus nasi untuk kedua belahan hatinya.

Seorang ibu yang tengah berjuang untuk hidup dengan keterbatasan. Ia tidak lagi memikirkan untuk menikah lagi. Hidupnya cuman berpikir, bagaimana menghidupi kedua anak-anaknya yang masih kecil. Rumah tangga yang dibinanya kian kelam seiring malam yang pekat. Iapun tertidur dengan mendekap anaknya sambil menangis. Menangisi rumah tangganya yang bisu. Sebisu harapnya untuk bersatu dengan suaminya.

Ibu setengah baya ini merasa sendirian menghadapi persoalan keluarganya. Ia tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya dan anak-anaknya. Ia tidak tahu kemana ia mengadukan nasibnya. Ia hanya bermohon pada Tuhan dalam kegelapan malam. Ia hanya mampu menangis dalam keperihan. Ia tidak tahu apa-apa lagi untuk mengembalikan rumah tangganya yang kian kelam.

Kekerasan dalam rumah tangga

Kekerasan dalam rumah tangga beragam. Riwayat seorang ibu setengah baya diatas, merupakan cermin kekerasan yang dialami oleh seorang istri dan anak-anak yang ditinggal oleh suami tanpa sebab yang jelas. Kondisi kemiskinan yang mendera rumah tangga mereka membuat persoalan semakin rumit, ketika suaminya meninggalkan kewajibannya sebagai suami. Dan kekerasan itu semakin nyata dengan menikah lagi dengan perempuan lain.

Kekerasan semacam ini merupakan modus yang menggantungkan posisi istri pertama tanpa kejelasan. Statusnya tidak jelas dan ditelantarkan oleh suami. Demikian pula, nafkah kepada anak-anaknya tidak dipenuhi oleh suami. Penelantaran anak dan istri kerap dialami oleh perempuan yang lemah.

Ditengah kekerasan yang menimpa si ibu, tetap saja semangat untuk menghidupi anaknya tampak nyata. Ia pun bekerja apa saja untuk menghidupi anak-anaknya. Mulai dari bekerja sebagai buruh tani, pembantu rumah tangga dan sebagainya. Seorang ibu yang memiliki semangat kerja yang patut ditumbuh kembangkan. Ia tidak putus asa dengan keterbatasannya. Dan ia tidak silau untuk bekerja dengan jalan pintas dengan menjajakan tubuhnya, seperti kebanyakan kasus yang menerpa orang-orang miskin yang gagal dalam kehidupannya. Ibu ini justru bertekad membesarkan anak-anaknya dengan usahanya yang dibenarkan oleh agama, norma dan adat.