PUAN Amal Hayati SAQO Al-Jailani

Pondok Pesantren K.H. Aminuddin.
Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia.

Monday, September 12, 2005

Pesantren: Tidak sekedar “penantian” menikah

Mengapa pesantren menjadi tempat “penantian” bagi satriwati untuk menikah? Bagaimana perempuan terbangun dalam seting social dimasyarakat? Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari seting social yang ada. Pengaruh budaya mendominasi nilai-nilai yang berkembang pada pesantren dikawasan Madura dan tapal kuda yaitu (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Jember dan Banyuwangi). Pesantren tumbuh cermin dari bangunan budaya Madura sebagai pusat belajar pendidikan agama, hal itu terpantul dari sistem bahasa pengantar pendidikan menggunakan bahasa Madura, adat istiadat, norma serta nilai. Bahasa ibu sedemikian kuat mempengaruhi pola relasi yang bias dan menempatkan perempuan pada posisi tidak penting. Sebuah posisi marginal dalam sisi persimpangan hidup. Struktur Masyarakat tapal kuda menganggap pendidikan tidak penting. Sehingga motivasi dan dukungan orang tua menjadi rendah. Status keprawanan simbol aib keluarga dan menyebabkan maraknya pernikahan dini, perceraian, keputus asaan dan kemiskinan terstruktur di daerah tapal kuda. Bagaimana bisa terjadi?

***


Pesantren: Tidak sekedar “penantian” menikah

Oleh Najlah Naqiyah

(Disarikan dari tradisi di masyarakat)


Mengapa pesantren menjadi tempat “penantian” bagi satriwati untuk menikah? Bagaimana perempuan terbangun dalam seting social dimasyarakat? Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari seting social yang ada. Pengaruh budaya mendominasi nilai-nilai yang berkembang pada pesantren dikawasan Madura dan tapal kuda yaitu (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Jember dan Banyuwangi). Pesantren tumbuh cermin dari bangunan budaya Madura sebagai pusat belajar pendidikan agama, hal itu terpantul dari sistem bahasa pengantar pendidikan menggunakan bahasa Madura, adat istiadat, norma serta nilai. Bahasa ibu sedemikian kuat mempengaruhi pola relasi yang bias dan menempatkan perempuan pada posisi tidak penting. Sebuah posisi marginal dalam sisi persimpangan hidup. Struktur Masyarakat tapal kuda menganggap pendidikan tidak penting. Sehingga motivasi dan dukungan orang tua menjadi rendah. Status keprawanan symbol aib keluarga dan menyebabkan maraknya pernikahan dini, perceraian, keputus asaan dan kemiskinan terstruktur di daerah tapal kuda.

Nilai teologis berpengaruh menguatkan posisi perempuan. Pesantren dipercaya taat melaksanakan ajaran agama yang meneguhkan nilai kesetaraan. Perkembangan di pesantren berbasis budaya lokal menyedihkan, dengan maraknya agama menjadi sumber diskriminasi perempuan terselubung. Alih-alih, Agama memerdekakan manusia dari penghambaan terhadap sesama. Namun, realitas yang sungguh terjadi, perempuan beragama berada pada tingkat hegemoni dan pengekangan. Agama seharusnya memberikan jalan keluar kepada perempuan berdaya dan mengakui hanya Tuhan yang maha besar diluar dirinya. Tokoh agama berperan membangun wacana keadilan dan ketidakadilan gender. Wacana bahwa perempuan merupakan tanggung jawab keluarga dan pindah pada suami saat menikah merupakan bentuk pemahaman yang kuat tertanam pada diri masyarakat. Bentuk pengekangan agama seringkali menjadi distorsi pada seting masyarakat yang memahami dari sudut pandang laki-laki. Agama bukan menjadi pembebasan menuju arah kemajuan justru berada pada kungkungan system feodalistik. Mengapa kaum perempuan “melarat” dan terus tertinggal dari perubahan? Pendidikan rendah, pembatasan, pengungkungan peran merupakan beban berat yang ditanggung dari budaya patriarkhi.

Pesantren yang berarti uzlah “tempat pengasingan diri” dimaknai secara “sembrono” bagi banyak orang awam. Perempuan lebih banyak tinggal di pesantren. Pesantren sebagai tempat “penantian” yang aman bagi perempuan sampai batas menikah. Mereka rajin mengerjakan ajaran agamanya secara ritualistic namun tidak menyebar pada kehidupan social. Kehidupannya terkurung dalam pesantren sampai mereka menikah. Mengapa perempuan sulit bangkit melawan adat? Karena tidak berdaya melepaskan dari system nilai dan norma setempat yang telah lama hidup. Alasan memondokkan anak perempuan beragam. Sebagai masa penantian menunggu dilamar, belajar sopan santun, belajar membaca al-qur’an, melanjutkan pendidikan. Apa hubungannya dukungan orang tua dengan kelangsungan pendidikan perempuan? Bagaimana gambaran dukungan orang tua terhadap anak perempuan? Apakah dukungan orang tua berhubungan dengan prestasi belajar anak ? seberapa besar sumbangan dukungan orang tua terhadap prestasi perempuan? Apakah berbeda dukungan orang tua kepada anak laki-laki dan perempuan? Mengapa orang tua membedakan dukungan terhadap anak perempuan ?. Ada hubungan positif antara dukungan orang tua dengan prestasi anak perempuan, maksudnya jika orang tua memberikan dukungan penuh pada anak, maka akan meningkatkan prestasi belajarnya dan memudahkan anak untuk bebas melanjutkan studi seperti keinginannya. Sebaliknya jika orang tua kurang mendukung kegiatan belajar perempuan di pesantren maka cenderung anak perempuan berprestasi rendah dan putus ditengah jalan karena berhenti dan dinikahkan.

Dukungan orang tua artinya perilaku orang tua terhadap anak perempuan atau remaja putri. Dalam bentuk penerimaan, permisif dan demokratis serta membiarkan/membebaskan. (Coopersmith 1983). Kecenderungan dukungan orang tua terletak pada penghargaan dan hukuman yang dilakukan, dana pendidikan, rasa aman. Sarana dan kelas sosial mempengaruhi kondisi belajar santri. Budaya perempuan bergantung pada orang tua sebagai cermin “kepatuhan dan ketundukan” . Makna yang terkandung ialah wujud berbakti kepada orang tua. Walaupun pada sisi lain sebagian perempuan bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri, namun tetap menggantungkan psikologisnya kepada keluarga. Tidak jarang seorang perempuan yang gigih bekerja dan mempunyai penghasilan tetap masih hidup dengan orang tua mereka sampai menikah. Perempuan tidak mampu mengambil keputusan penting dalam kehidupan mereka, seperti tidak biasa mengambil sikap pada arah hidupnya akan kemana, semua ditentukan oleh orang-orang penting dalam kehidupan mereka.

Nilai psikologis terbentuk kesadaran perempuan tidak bertanggung jawab atas dirinya. Membutuhkan perlindungan orang lain untuk sekedar menanggung kebutuhannya. Tidak mendapatkan kesempatan meraih sukses hidupnya, semuanya harus ditangani dan dibantu orang penting dalam kehidupannya. Sepintas memang tidak bermasalah, apabila kebutuhan itu terpenuhi oleh keluarga ataupun suami, namun bagi perempuan yang tidak bahagia, ditinggalkan keluarga, atau miskin, perceraian maka akan timbul ketergantungan yang menyakitkan. Perempuan akhirnya tidak siap dengan kenyataan pahit memikul kehidupannya sendirian. Ia tidak terlatih mengahadapi kesulitan mengakibatkan bertambahnya penderitaan. Perempuan dipandang sebagai tanggung jawab orang lain.

Perubahan memperbaiki system nilai pesantren dengan menyadarkan masyarakat. Kesadaran dilakukan dengan menggalang transformasi nilai. Pesantren selayaknya menjadi sentral bagi upaya kesetaraan bagi perempuan. Mendatangi masyarakat tanpa kekerasan, dengan cara dialog keragaman. Membantu menginternalisasi nilai baru dengan cinta damai. Menggugah budaya mencapai pendidikan tinggi. Peduli kepada nasib perempuan dengan memberikan kesempatan mengecap pendidikan kedepan. Mau tidak mau perempuan mesti belajar melawan dengan usaha keras menuju otonomi psikologis untuk meraih kesempatan berkarier. Sehingga wajah pesantren bukan lagi masa penantian untuk menikah, tetapi lebih dari itu pembangunan karakter muslimah yang beramal sholeh dan sukses berkarya mengamalkan ajaran Islam di masyarakat.